Kamis, 26 Juni 2014

Kandungan Minyak Atsiri Jahe Segar Dan Jahe Kering

Kandungan Minyak Atsiri Jahe Segar Dan Jahe Kering

ATSIRI JAHE SEGAR DAN JAHE KERING

 
     Jahe (Zingiber officinale var emprit) merupakan salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia yang memberikan peranan cukup berarti dalam penerimaan devisa negara. Daya guna bahan ini sangat erat hubungannya dengan komponen bioaktif yang terkandung didalamnya. Kualitas dan kuantitas minyak atsiri jahe emprit segar dan simplisia jahe kering dilaporkan guna memberi informasi kepada masyarakat mengenai efek dari pasca panen. Total minyak atsiri diperoleh melalui destilasi Stahl selama ± 6 jam, sedangkan analisis komponen minyak atsiri dilakukan dengan GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar minyak atsiri jahe segar dan simplisianya masing-masing 3,71% (v/w) dan kadar 0,94 % (v/w). Data GC-MS memperlihatkan bahwa jahe segar memiliki jenis minyak atsiri lebih banyak daripada jahe kering, selain jumlah zingiberinenya lebih dominan. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa jahe segar lebih baik dibandingkan dengan simplisia jahe kering.
 
     Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan di dunia pada tahun 2000 mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun 2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun. Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu dari lima komoditas andalan Indonesia (Anonim, 2007).
 
Bahan baku obat alam ini mempunyai beberapa kegunaan seperti dapat untuk sakit sakit gigi, malaria, rematik, sembelit, batuk, kedinginan dan sumber antioksidan (Chrubasik, 2005; Al Amin, 2006; Ehlisch, 2008; El-Baroty, 2010). Aktivitas-aktivitas tersebut pada umumnya disebabkan oleh adanya senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang jahe, seperti senyawa phenolic (shogaol dan gingerol) dan minyak atsiri, seperti bisapolen, zingiberen, zingiberol, curcurmen, 6-dehydrogingerdion, galanolakton, asam gingesulfonat, zingeron, geraniol, neral, monoakyldigalaktosylglykerol, gingerglycolipid (Kemper, 1999).
 
Senyawa zingeberen, merupakan senyawa yang sangat penting mengingat akan memberikan aroma pedas pada jahe (Muhamed, 2007). Beberapa senyawa bioaktif yang tekandung dalam jahe tersebut dapat diperoleh dari beberapa varitas, seperti jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit. Dari ketiga jehe tersebut, jahe emprit (Zingiber officional var. Amarum) merupakan komoditas unggulan yang paling diminati oleh masyarakat. Konsumsi jahe sebagai bahan baku herbal bersumber dari jahe segar maupun jahe yang telah dikeringkan (selanjutnya disebut simplisia kering). Masyarakat luas lebih memilih jahe segar mengingat organoleptis (khususnya bau) dari jahe segar lebih baik daripada simplisia kering. Dalam ilmu kimia, perbedaan tersebut ditandai dengan perbedaan komposisi minyak atsiri yang terkandung didalamnya. Bukti laboratorium yang mencoba memberi dasar ilmiah kebiasaan masyarakat tersebut sangat penting dilakukan dalam rangka menunjang Program Saintifikasi Jamu di Indonesia (Permenkes No 003/MENKES/PER/I/2010).
 
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan Bahan baku jahe emprit segar diperoleh dari Pengepul di Pasar Bitingan Plasa Kudus, setelah sehari panen yang kemudian dilakukan perlakuan penelitian..
Peralatan utama yang digunakan Timbangan analitik, seperangkat alat destilasi Stahl dengan kapasitas 500 ml, GC-MS QP2010S Shimadzu. Kondisi operasional GC-MS. Kolom Rastek RXi-5MS panjang 30m, Kondisi GC, suhu kolom 60 oC-300 oC, tingkat laju 10 oC per menit, hold pada 60 oC untuk 5 min, hold pada 290 oC untuk 62 min, kolom awal suhu 60 oC, injeksi suhu 300 oC, interface suhu 300 oC, pembawa gas helium, Total Flow 81.5 mL/min, Split Ratio :153.0.
Preparasi sampel
Sampel jahe dicuci terlebih dahulu sampai bersih dari tanah yang masih menempel, lalu dilakukan penimbangan. Kemudian dibagai menjadi 2 bagian:

Sampel A

Sebanyak 120 gram jahe segar diiris tipis melintang dan kemudian dilakukan distilasi Stahl selama ± 6 jam, untuk memperoleh data kuantitatif minyak atsiri. Kemudian minyak atsiri hasil distilasi diambil dengan pipet, lalu ditampung dalam botol vial untuk kemudian dianalisis kualitatif dengan GC-MS.
Sampel B
Sebanyak 120 gram dikeringkan dengan dipanaskan pada oven suhu 50 oC selama 5 hari selanjutnya disebut sampel B, lalu diiris tipis melintang setelah itu didestilasi Stahl selama ± 6 jam. Untuk memperoleh data kuantitatif minyak atsirinya. Selanjutnya minyak atsiri hasil destilasi dianalisis dengan GC-MS.
Penentuan kadar air sampel.
Sampel yang sudah dibersihkan, dipotong tipis melintang kira-kira 1-5 mm ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditentukan kadar airnya dengan metode distilasi, sesuai dengan SNI simplisia jahe (2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian pengaruh pengeringan jahe dilakukan dengan membandingkan jahe segar dengan jahe kering, masing-masing dilakukan penentuan jumlah minyak atsiri dan sekaligus pengambilan minyak atsirinya untuk keperluan kualitatif. Jenis peralatan distilasi uap yang digunakan untuk keperluan ini adalah distilasi stahl. Analisis kualitatif minyak atsiri yang dihasilkan dianalisis struktur kimianya dengan GC-MS.
 
Pengeringan rimpang jahe dengan oven
Pengeringan rimpang jahe dilakukan untuk mendapatkan simplisia kering, alat yang yang dipilih adalah oven. Pemanasan jahe dapat berjalan optimal pada suhu 50 oC (Abeysekera and Illeperuma, 2005). Pada penelitian ini, pengeringan jahe dilakukan terhadap rimpang jahe utuh. Berat jahe dari hasil pengeringan (sampel B) adalah 23,3940 g (19,5 %) dengan kadar air 9,0 %. Faktor susut berat akibat proses pengeringan oven ini adalah 5,13 (dari 120 g menjadi 23.3940). Harga 1kg jahe segar di pasar tradisional adalah Rp. 13.000,- sedangkan simplisia kering adalah Rp. 50.000,- (perbedaannya hanya 3,85 kali, lebih kecil daripada faktor susut yang seharusnya dijual dengan harga minimal Rp. 67.000,-). Dari segi harga, ini sudah dapat dipastikan bahwa para pedagang telah memahami bahwa kualitas simplisia kering tidak sebaik jahe segarnya.

Jumlah minyak atsiri sampel
Sesuai dengan SNI, minyak atsiri dalam sampel jehe dilakukan melalui destilasi Stahl, yang merupakan rangkaian alat dengan prinsip steam distillation. Sesuai hukum Roult, penambahan uap air akan menyebabkan titik didih campuran minyak atsiri-air akan lebih kecil daripada 100oC (Cahyono, 2011).
Pemisahan minyak atsiri dari rimpang jahe segar lebih cepat dibandingkan dengan destilasi jahe yang dikeringkan, waktu yang diperlukan untuk memperoleh tetesan pertama minyak atsiri jahe segar 25 menit. Hasil yang diperoleh dari metode pemisahan minyak atsiri dengan menggunakan destilasi uap, baik jahe segar maupun jahe kering berwarna coklat kekuningan. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa, dari berat segar yang sama, minyak atsiri yang diperoleh dari jahe segar jauh lebih banyak dibanding dengan simplisia jahe kering (tabel 1). 

Penting dicatat bahwa hasil-hasil ini sangat kontradiktif dengan kesimpulan penelitian yang pernah dilakukan oleh Famurewa dkk. (2011), yang mencoba membandingkan jahe segar dan jahe yang telah dikeringkan, tetapi tanpa membandingkan berat masing-masing sampel dari keadaan segarnya serta tidak melaporkan kadar airnya. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bahwa sampel jahe Indonesia lebih baik daripada sampel yang berasal dari Cina maupun Thailand, masing-masing memiliki kadar 0,98% dan 1,57% (Sutanet al., 2005). Dalam penelitian ini,adanya perbedaan sekitar 2,77% antara jahe segar dan simplisia keringnya diduga sangat erat hubungannya dengan hilangnya dalam minyak atsiri bersama uap air selama proses pengeringan. Data-data ini dapat memberikan suatu bukti dari kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai jahe segar daripada simplisia keringnya.

Analisis penyusun minyak atsiri jahe segar dan simplisia kering
Analisis senyawa kimia yang terdapat didalam minyak atsiri jahe segar dan jahe kering dengan GC-MS, perbandingan kromatogram dari kedua sampel minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar1.


Sumber : http://jaheindonesia.com/berita-atsiri-jahe-segar-dan-jahe-kering.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar